NunMedia.ID – Sosok Nabi Ibrahim dan Ismail As yang setiap tahun diabadikan dalam Idul Adha bukanlah hanya sekedar untuk dirayakan rame-rame, tetapi lebih dari itu, keduanya adalah hamba Allah yang lulus uji dalam keimanan, teguh lurus dalam pendirian, dan kokoh kuat dalam ketaatan. Sungguh keduanya patut diteladani serta dijadikan referensi untuk muhasabah diri pribadi setiap insan.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Memang jika direnungkan lebih jauh, rasanya tak terbayangkan bila perintah berkorban itu terjadi pada diri dan keluarga kita. Sebagai ilustrasi singkat, dapat dikemukakan paparan berikut.
Baca juga : Menguak Tabir Nikmat Ibadah Selama Bulan Ramadhan
Di pelosok lembah bukit Mina yang sepi, Nabi Ibrahim As telah bertekad untuk menyembelih Nabi Ismail, putranya. Peristiwa ini merupakan simbol totalitas penghambaan, juga ketaatpatuhan Nabi Ibrahim atas perintah Allah Swt. Betapa tidak, minimal ada tiga hal yang mendasari persoalan ini.
Pertama, secara emosional, bagi Nabi Ibrahim, sosok Ismail lebih dari sekadar seorang putra. Ia adalah simata wayang, buah hati yang puluhan tahun sangat diidamkan dan selalu dimohonkan dalam doa, sebagaimana doa yang diabadikan oleh Allah dalam alquran surat Al-Shaffat ayat 100.
Saat doa itu diterima, bagi Nabi Ibrahim kehadiran Ismail terasa masih baru mendapatkannya. Sementara usia Nabi Ibrahim saat itu telah hampir menginjak seabad.
Kedua, secara religius-spiritual, Ismail adalah harapan terbesarnya bagi keberlangsungan risalah “millat Ibrahim” sebagaimana diabadikan dalam QS. al-Baqarah 127 – 129.
Di dalam ayat itu dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim bersama Ismail berdoa agar diutus utusan Allah dari keturunannya. Akhirnya, kemudian terlahirlah nabi Muhammad Saw. Dan dalam hadistnya, Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa “Aku adalah (hasil dari) doa kakekku, Ibrahim.”
Ketiga, perintah penyembelihan itu disampaikan oleh Allah melalui mimpi pada seorang Nabi Ibrahim sebagaimana yang kita baca dalam perjuangannya. Di sini menjelaskan tentang pergumulan iman tauhid dan perdebatan seru Nabi Ibrahim dengan kaumnya yang begitu rasional (QS. al-An’am: 74 – 78).
Peristiwa itu seolah episode di mana Allah Swt hendak menunjukkan agar rasionalitasnya tunduk bersimpuh di pelataran-Nya, sebagaimana juga episode serupa pada Nabi Musa yang sangat rasional itu untuk lebur dan tunduk pada perintah-perintah Nabi Khidir yang tak rasional atas kehendak-Nya.
Di samping itu, dalam hampir seabad kehidupannya, Nabi Ibrahim menjalaninya dengan berbagai tantangan dan perjuangan luar biasa: dari penindasan Raja Namrud sampai perlawanannya pada patung berhala.
Singkatnya, bagi Nabi Ibrahim, ia telah menjalani perjalanan panjang dan berat di sebuah padang pasir, dan Ismail bagaikan air yang ditemukannya di ujung jalan. Baginya, Ismail adalah sesuatu yang sungguh membahagiakan (menghibur hatinya) dan menjadi tumpuan masa depan harapannya.
Oleh karena itu, saat Nabi Ibrahim bermimpi bahwa Allah Swt memintanya menyembelih putranya, Ismail yang sebelumnya menjadi dambaan yang membahagiakan itu, sontak seolah berubah menjadi ujian yang begitu berat. Bahkan, lebih berat ketimbang perjuangan yang telah dialaminya selama hampir seabad sebelumnya. Beliau kuat dan sukses dengan “jihad kecil” melawan Namrud. Seusai peristiwa ini dihadapi, ternyata beliau masih harus ber-“jihad lebih besar” lagi, yaitu melawan dirinya sendiri berupa melepas dan mengorbankan Ismail dari pelukannya.
Syahdan, saat Nabi Ismail benar-benar oleh Nabi Ibrahim akan disembelih, secepatnya Allah Swt menggantikannya dengan seekor domba.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Allah Swt menggantinya? Apa sebenarnya yang dikehendaki-Nya atas Nabi Ibrahim dan umat manusia setelahnya? Dan apa pula rahasia dari semua simbol ini?
Pertama, hal tersebut tampaknya adalah cara Allah Swt untuk mengakhiri tradisi persembahan nyawa dan darah manusia pada Tuhan ala kaum Masokhis yang berkembang sebelumnya. Allah ingin menghapus tradisi keberagamaan dan kebertuhanan yang salah kaprah itu. Allah Swt seolah hendak menegaskan bahwa Dia tak pernah haus darah. Dia pun juga seolah hendak menegaskan bahwa pada saat ini kita tak boleh lagi ada kekerasan–apalagi hingga mengorbankan nyawa manusia– atas nama-Nya. Sungguh Maha Suci dan Maha Besar Allah dari semua itu.
Maha Suci Allah, apalagi jika sampai ke-Mahabesaran-Nya justru dijadikan slogan dan teriakan untuk bertindak anarkis atas nama agama. Itu sungguh bukan kehendak-Nya, itu adalah kehendak egoisme dan sifat kebinatangan dari manusia itu sendiri.
Maka, Dia memerintahkan agar kita “menyembelih” egoisme dan sifat kebinatangan yang mungkin ada dalam diri kita itu.
Kedua, Allah Swt hendak menegaskan bahwa setiap kita sebenarnya adalah layaknya Ibrahim. Masing-masing kita tentu memiliki “Ismail”-nya sendiri-sendiri. Wujud “Ismail” itu tentu tidak selalu harus berbentuk anak, namun bisa juga istri, cucu, orangtua, teman, saudara, dan lain-lain. Bahkan, “Ismail” tak mesti berupa manusia. Ia bisa saja berbentuk harta, jabatan, status sosial, dan lain-lain.
Maka, jangan biarkan “Ismail-Ismail” kita itu menumbuhkan egoisme dalam diri kita, membutakan mata hati dan membuat keruh pikiran kita, sehingga kita menjadi hamba-Nya yang membangkang.
Baca Juga : Kenapa Harus Malam ? Waktu yang Diistimewakan!
Lalu siapa “Ismail” kita itu?
Tidak ada yang saling tahu. Hanya diri masing-masing yang paling tahu. Jangan bertanya pada yang lain. Bercermin dan bertanyalah pada diri sendiri, “Siapa “Ismail”-ku?” Yang jelas, rumusnya adalah bahwa “Ismail” adalah segala sesuatu yang melemahkan iman, membutakan hati, membuat keruh pikiran, memicu hawa nafsu, menumbuhkan ego, membuat sombong atau iri, menjadikan diri merasa paling benar sembari menuduh yang lain salah dan kafir, dan segala sesuatu yang menjauhkan diri dari kebaikan, sekaligus menyeretnya ke jurang kegelapan. Itulah “Ismail” kita.
Di momen idul Adha saat ini, “Sembelihlah” ia! Sebab, sesungguhnya di hadapan Allah Swt, dia adalah binatang yang ada dalam diri kita ini.
Tentu, yang dimaksud “sembelih” di sini, objeknya adalah diri kita sendiri, yaitu dalam konteks membuang pikiran, perasaan, dan berbagai keinginan berbasis nafsu yang membuat kita terhijab dengan Allah Swt lantaran kecintaan berlebih pada keluarga, harta, jabatan, dan lain-lain. Termasuk pula dalam berhaji atau berkurban. Pastikan semuanya dalam rangka membuang ego diri akan harta, jabatan, dan lain-lain. Itulah “jihad besar” kita, sebagaimana jihad Nabi Ibrahim dulu.
Itu pula sebabnya dalam hal berkorban, Allah Swt menegaskan, “bukan daging dan darah korban yang diterima, tapi ketaatan dan kemauan me-Mahabesarkan Allah yang diutamakan.”
Sebagaimana firman-Nya dalam Alquran:
لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ
“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Hajj Ayat 37).
والله اعلم بالصواب
Selamat ber’Idul Adha, selamat berkurban, dan bertasyriq
Semoga kita sekeluarga dapat meneladani Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad Saw. beserta keluarganya, امين