nun.or.id – Dalam suatu hadits Nabi yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah Ra, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad Saw. jika memasuki bulan Sya’ban sering sekali melakukan puasa.
Seperti yang kita maklumi bahwa sya’ban adalah bulan ke delapan dalam sistem kalender Islam atau hijriyah. Kaum muslimin menganggap bahwa bulan ini termasuk bulan penting. Sejak tanggal satu bulan ini mereka berpuasa dan memperbanyak amal saleh.
Pada pertengahan bulan ini dikenal dengan Nisfu Syaban. Saat itu, menurut sabda Rasulullah buku catatan amal manusia ditutup dan diganti dengan buku baru oleh Raqib dan ‘Atid (Malaikat yang bertugas mencatat amal manusia).
Begitu pentingnya saat Nisfu Syaban, sampai-sampai mereka menyelenggarakan tradisi membaca surat Yasin tiga kali. Lalu berdoa meminta diteguhkan Iman dan Islamnya, dipanjangkan umurnya, dan ditambah rizkinya.
Suatu hari, sahabat Usamah bin Zaid seorang pemuda cerdas, pernah terheran-heran dengan suatu amalan yang dilakukan Rasulullah di bulan Syaban. Kemudian Usamah dengan menata mentalnya memberanikan diri menyampaikan pertanyaan kepada Nabi, “Ya Rasulallah, aku belum pernah melihat engkau berpuasa di bulan lain lebih banyak dari puasamu di bulan Sya’ban”.
Lalu, Rasulullah Saw menjawab rasa penasaran Usamah tersebut dengan jawaban:
عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما قال : قلت : يا رسول الله لم أرك تصوم من شهر من الشهور ما تصوم من شعبان ؟ قال : ” ذاك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان ، وهو شـهر تُرفع فيه الأعمال إلى رب العالمين ، وأحب أن يُرفع عملي وأنا صائم ” قال المنذري: رواه النسائي ( 1) الترغيب والترهيب للمنذري 2/ 48 .
“Bulan itu sering dilupakan orang karena diapit oleh bulan Rajab dan Ramadhan, padahal dalam bulan itu , amal-amal manusia selama satu tahun diangkat dan dilaporkan kepada Tuhan. Karenanya, aku ingin agar sewaktu amalanku dibawa naik, aku sedang berpuasa”.
Kisah percakapan Usamah bin Zaid yang merupakan putera angkat Rasulullah tersebut terekam dalam sejumlah hadist riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Imam at-Tirmidzi dalam Jami’ al-Sahih atau yang biasa disebut Sunan at-Tirmidzi.
Bukan hanya Usamah, Aisyah RA yang merupakan istri Rasul SAW juga pernah terheran dengan perilaku Rasul Saw ketika memasuki bulan Sya’ban.
‘Aisyah, Ummul Mukminin bercerita bahwa pada suatu malam ia kehilangan Rasulullah Saw. Ia sempat curiga, lalu bergegas mencarinya. ‘Aisyah menemukan suaminya di makam Baqi’, yaitu nama kuburan para sahabat dan para pejuang (syuhada’) yang ada di dekat masjid Nabawi.
Di tempat itu Nabi sedang menengadahkan wajahnya ke langit dengan mata sendu. Kepada istri tercintanya (‘Aisyah), Nabi berkata: “Sesungguhnya Allah yang Maha Agung turun ke langit dunia (maksudnya menurunkan dan menyebarkan rahmat-Nya) pada malam Nishfu Sya’ban dan mengampuni (dosa) hamba-Nya yang jauh lebih banyak dari jumlah bulu domba Bani Kalb”.
Kisah Siti Aisyah ini bisa juga dilacak dalam beberapa kitab hadist, seperti Sunan at-Tirmidzi, Musnad Ahmad dan Sunan Ibnu Majah.
Peristiwa tersebut di atas menyiratkan keistimewaan bulan Sya’ban. Selain dari itu, menurut penyelidikan para ‘alim, nabi Saw banyak berpuasa karena bulan Sya’ban saat diturunkannya perintah puasa Ramadhan. Perintah puasa ini tepatnya pada Bulan Syaban tahun 2 hijriyah atau 15 tahun setelah kenabian.
Dengan turunnya perintah puasa pada Bulan Syaban, maka ada waktu satu bulan bagi umat Islam untuk latihan melakukan puasa Ramadhan. Makna lainnya, selama 15 tahun kenabian, berarti belum ada perintah puasa Ramadhan. Asal tahu saja, Nabi hijrah pada tahun ke-13 kenabian, sedangkan wahyu puasa Ramadhan baru turun pada tahun kedua hijriah.
Lantas, adakah puasa yang diwajibkan sebelum puasa Ramadhan?
Merujuk pada pendapat Dr Muhammad Hasan Hitou dalam kitabnya “Fiqhu Shiyam” bahwa pensyariatan puasa pada masa awal Islam dimulai dengan puasa tiga hari di setiap bulannya, yang kemudian kita kenal sebagai ayyamul bidh. Puasa ini adalah puasa selama tiga hari pada pertengahan bulan. Dimulai pada tanggal 13 dan kemudian berakhir di tanggal 15 di setiap bulannya.
Selain itu, puasa yang juga disyariatkan sebelum Ramadhan adalah puasa Asyura (10 Muharram). Hal ini berpijak pada salah satu hadits yang juga termaktub dalam kitab tersebut: Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jabir bin Samroh yang berkata, “Rasulullah Saw memerintahkan untuk puasa Asyura, dan menganjurkan kami untuk melakukannya, dan memperhatikan kami di sisi beliau.
Kemudian ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau tidak lagi memerintahkan kami (untuk puasa Asyura) dan tidak lagi memperhatikan kami melakukannya di sisi beliau.” Kalimat “tidak memerintah dan tidak lagi memperhatikan” dalam hadits di atas bukan berarti Rasulullah bersikap apatis ataupun tidak peduli terhadap puasa Asyura.
Sikap Rasulullah menjadi berubah disebabkan karena perubahan hukum puasa Asyura sendiri. Yaitu yang awalnya wajib, sehingga sang rasul sangat menekankan dan memperhatikan, kemudian hukumnya berubah menjadi hanya sebatas sunah.
Demikianlah bahwa sebelum diwajibkannya puasa selama sebulan penuh Ramadhan, Allah telah mengajari umat Muhammad dengan puasa 3 hari di setiap bulannya dan puasa Asyura.
Adapun hikmah yang dapat dipetik adalah bahwa Allah sekali-kali tidaklah membebani manusia kecuali sesuai dengan tingkat kesanggupannya. Dapat dibayangkan bagaimana nasib kaum Muslimin ketika perintah puasa langsung pada tahap puasa Ramadhan, puasa sebulan penuh tanpa adanya treatment, atau media latihan yang berupa puasa 3 hari di setiap bulannya dan juga puasa Asyura. Sudah barang tentu umat Islam akan sangat keberatan dan lemah.
Sungguh, Allah adalah dzat yang Maha Bijaksana dalam segala urusan-Nya.
اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبلغنا رمضان – امين يارب العالمين
والله اعلم بالصواب
Semoga kita sekeluarga sehat wal’afiat, thowil umur barokah, dan diberi kekuatan oleh Allah untuk berpuasa dan istiqomah ibadah, امين
Penulis: KH. Abdullah Mufid




0 Responses