Karomah KH Abbas: Cahaya dari Buntet yang Menggerakkan Hati Masyarakat Jawa

KH. Abbas Buntet

KIN.ID – Dalam sejarah pesantren Nusantara, nama KH Abbas dari Buntet selalu diiringi oleh cerita-cerita yang tak hanya menggetarkan hati, tetapi juga meneguhkan keimanan. Beliau dikenal sebagai ulama yang memiliki keluasan ilmu, keteduhan akhlak, sekaligus karomah yang memancar dari ketulusan ibadahnya.

Banyak orang mengenal KH Abbas Abdul Jamil Buntet Pesantren sebagai sosok ulama yang sakti mandraguna. Betapa tidak, berbagai cerita lisan mengisahkan peran heroiknya dalam menumpas sekutu di Surabaya pada Perang 10 November 1945.

Ada yang menyebut sorban, tasbih, hingga kacang hijau yang dilemparkannya mampu menjatuhkan pesawat tempur yang siap membombardir Kota Pahlawan itu. Ada pula yang menyebut alu-alu untuk menumbuk padi beterbangan atas izin Allah swt. melalui perantara doa yang dibacanya.

Disisi lain beliau juga merupakan ulama yang bisa menghidupkan hati bagi para santrinya dan bagi para masyarakat jawa khususnya daerah cirebon di Buntet, Cirebon, beliau merupakan seorang ulama sepuh yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan penuh hormat: KH Abas Buntet. Nama lengkap KH Abas Buntet adalah KH. Muhammad Abbas Billy Yachsy, tapi beliau lebih dikenal dengan nama KH Abbas Buntet. Beliau juga memiliki julukan Kang Babas atau Gus Abbas di kalangan jamaahnya.

KH Abbas Buntet lahir pada tanggal 30 Desember 1969 dan merupakan putra dari KH. Fuad Hasyim. Beliau juga merupakan cucu dari KH Abbas Abdul Jamil Buntet Cirebon dan merupakan generasi keempat dari kepemimpinan Pondok Pesantren Buntet.

Beliau dikenal sebagai ulama besar Cirebon yang dijuluki Singa dari Jawa Barat dan memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia . Rumahnya sederhana, pintunya selalu terbuka, dan siapa pun yang datang akan disambut dengan senyum lembut yang membuat hati seketika tenang.

Sejak muda, KH Abas menempuh jalan ilmu dengan penuh kesungguhan. Namun semakin tinggi ilmunya, semakin rendah hati beliau. Orang-orang sering berkata, “Kalau engkau tak sempat mendengar ceramahnya, cukup lihat akhlaknya. Di situ engkau menemukan pelajaran.”

Keteladanan yang Membekas

Setiap subuh, jauh sebelum adzan berkumandang, santri-santri melihat beliau berjalan pelan menuju masjid. Tidak pernah terburu-buru, tidak pernah meninggikan suara, dan tidak pernah menolak orang yang ingin sekadar meminta doa atau berkonsultasi.

Suatu hari, seorang pemuda datang mengadu, “Yai, saya ingin berubah, tapi sulit. Hati saya kotor, banyak kesalahan.”

KH Abas tersenyum dan menepuk bahunya pelan. “Perubahan itu bukan tentang sekaligus, Nak. Ia seperti matahari pagi—pelan, tapi pasti menyinari. Mulailah dari satu kebaikan kecil, tapi jangan berhenti.”

Nasihat itu tidak panjang, tetapi bagi pemuda itu, kata-kata KH Abas seperti menyalakan lilin di tengah kegelapan.

Pengajaran yang Menghidupkan Hati

Setiap pengajian KH Abas bukan hanya membahas teks kitab, tetapi juga kehidupan. Beliau sering berkata,“Ilmu itu penting, tapi hati yang hidup lebih penting. Kalau hati hidup, ilmu akan menjadi cahaya. Kalau hati mati, ilmu bisa jadi beban.”

Santri-santri mengenal cara mengajar beliau yang selalu penuh kelembutan. Bila ada yang salah membaca, beliau tidak pernah marah. Ia hanya tersenyum dan mengulangi bacaan dengan perlahan. Santri yang mendengarnya merasa seperti sedang belajar dari ayah yang penuh kasih.

Pernah ada seorang santri yang merasa putus asa karena sulit memahami pelajaran. KH Abas kemudian berkata:“Yang penting bukan cepat, tapi tetap berjalan. Allah tidak menilai siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling tulus.”

Kata-kata itu menjadi penyemangat bagi banyak santri.Kehadiran yang Menenangkan.

Yang paling diingat oleh masyarakat adalah bahwa kehadiran KH Abas selalu menentramkan. Ketika ada perselisihan di kampung, beliau tidak pernah langsung memberi solusi. Ia hanya duduk, mempersilakan semua orang bercerita, lalu berkata pelan:

“Kalau kita dinginkan hati, biasanya masalah ikut menjadi dingin.”

Ajaibnya, setelah itu suasana selalu menjadi lebih tenang. Orang-orang merasa didengarkan, dihargai, dan dituntun tanpa merasa digurui.

Kesederhanaan Sang Ulama

Meski dihormati banyak orang, KH Abas memilih hidup apa adanya. Sandalnya sederhana, makanannya tidak istimewa, dan beliau menolak segala bentuk penghormatan berlebihan.Suatu ketika ada tamu penting datang dan ingin memberikan hadiah mahal. KH Abas tersenyum dan berkata:“

Hadiah terbaik untuk ulama adalah mendoakan umat agar hatinya hidup. Bawalah hadiah ini untuk orang yang lebih membutuhkan.”

Tamu itu terdiam, lalu meneteskan air mata. Ia bilang belum pernah mendengar jawaban seindah itu.Warisan yang Abadi

KH Abas Buntet mungkin tidak meninggalkan banyak tulisan atau rekaman, tetapi keteladanan dan kelembutan hatinya hidup dalam diri para santri dan masyarakat.

Bagi mereka, KH Abas bukan hanya guru. Ia adalah penyejuk hati, penunjuk arah, dan teladan hidup.

Dan hingga kini, di Buntet Pesantren, nama KH Abas masih disebut dengan penuh rindu dan hormat—sebagai ulama yang berdakwah bukan dengan banyak kata, melainkan dengan kehidupan yang menjadi doa. Wallahu A’lamu bi al-Shawab.

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *